Pakar UGM menceritakan, sinyal gempa sudah diterima 32 detik sebelum goncangan di Sendai
Gempa bumi berkekuatan 8,9 skala
Richter disertai tsunami telah mengguncang Jepang pada 11 Maret 2011.
Pusat gempa tepat berada 130 kilometer (km) di lepas pantai timur kota
Sendai atau 400 km di timur laut kota Tokyo pada kedalaman 24,4 km.
Gempa bumi ini menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat setinggi 10 meter di sekitar kota Sendai.
"Kami prihatin dengan peristiwa
ini. Namun, dari peristiwa ini kami bisa belajar banyak bagaimana
pemerintah Jepang beserta rakyatnya menangani fase responsif di dalam
manajemen bencana gempa bumi," ujar pakar geologi Universitas Gadjah
Mada, Dr Subagyo Pramumijoyo.
Bersumber informasi dari Japan
Meteorological Agency di Jakarta belum lama ini, Subagyo mengatakan,
gelombang Primer yang datang pertama di rekaman seismometer sesungguhnya
dapat dipergunakan sebagai peringatan dini, meskipun hanya beberapa
detik sebelum tempat seismometer tersebut diguncang gempa bumi.
Gelombang tersebut kemudian rusak saat gempa bumi akibat gelombang
Sekunder yang datang belakangan setelah gelombang Primer.
Pengajar di Jurusan Teknik
Geologi Fakultas Teknik UGM ini menjelaskan, dari jarak 130 km dari
pusat gempa bumi, kota Sendai akan menerima sinyal gelombang Primer yang
berkecepatan kurang lebih 6 km/detik setelah 21,6 detik, dan gelombang
Sekunder yang berkecepatan 4 km/detik yang merusak akan tiba di Sendai
setelah 32,5 detik.
Jadi, sesungguhnya masih ada
selisih 10,9 detik untuk mengingatkan masyarakat bahwa akan datang gempa
bumi dahsyat. Sementara itu, di Tokyo yang berjarak 400 km dari pusat
gempa masih memiliki selisih kedatangan gelombang Primer dan Sekunder
selama 33,4 detik.
"Dengan demikian, penduduk
Sendai sebenarnya masih punya beberapa menit untuk menghindar dari
gelombang tsunami yang akan datang menyapu kawasan pantai," katanya.
Namun tak ayal, di kota Sendai sekitar 20 ribu rumah rusak dan diperkirakan 20 ribuan jiwa yang meninggal.
Pemerintah Jepang lalu
menerjunkan 50 ribu pasukan beladiri (tentara) Jepang dan NHK langsung
melakukan peliputan di wilayah yang diterjang tsunami dengan helikopter.
"Sebab di Jepang, organisasi hierarkis terbaik adalah organisasi
tentara," kata Subagyo Pramumijoyo yang dilansir laman UGM.
Dari berbagai informasi dan
tayangan televisi, Subagyo berpendapat masyarakat Jepang telah memiliki
kesadaran dan kesiapsiagaan bencana gempa. Mengingat negara dalam
wilayah rawan gempa, mereka telah mendapatkan itu semua melalui
sosialisasi bencana gempa bumi.
"Mereka akan mencari tempat
berlindung terdekat, di kolong meja ataupun di mana mereka merasa aman.
Masyarakat terkesan sudah sangat terlatih dengan bencana gempa,"
tuturnya.
Di samping itu, masyarakat
Jepang dinilai memiliki budaya disiplin dan kejujuran yang tinggi. Hal
itu tercermin saat mereka menghadapi bencana gempa.
"Saya rasa tanpa disiplin yang
tinggi masyarakat tidak akan tenang menghadapi gempa bumi. Mereka tetap
antre dengan tertib untuk memperoleh jatah bantuan paska gempa utama
terjadi," kata dia. "Harga-harga di Tokyo masih stabil. Berbeda dengan
pengalaman saat gempa bumi di Yogyakarta 2006, harga sekotak supermi pun
bisa menjadi tiga kali lipat."
Demikian pula dengan penanganan
reaktor nuklir di Fukushima, pemerintah Jepang langsung merespons dengan
cepat menyatakan darurat nuklir.
Pemerintah pun dengan segera
mengevakuasi 200.000 rakyatnya dari radius 20 km dari reaktor nuklir.
"Kami tentu dapat belajar bagaimana membangun reaktor nuklir. Tidak saja
membangun, namun bagaimana bisa membekali para pengelola nuklir dengan
disiplin tinggi," katanya.
Meski masih dalam penanganan
para ahli, tingkat radiasi saat ini telah mencapai 160 kali tingkat
radiasi normal. Bahkan, empat hari setelah kerusakan reaktor nuklir
Fukushima, masyarakat Tokyo yang berjarak 250-an km telah mendapat
imbauan untuk tetap tinggal di dalam rumah karena dikhawatirkan akan
terkena debu nuklir.
"Lagi-lagi, kami bisa belajar
dari peristiwa ini. Kalaupun tetap pada keinginan membangun reaktor
nuklir, tentu dapat memilih tempat yang paling aman dari bencana
terutama gempa bumi. Dengan berbagai pertimbangan ekonomi, memang
diharapkan bisa memiliki reaktor nuklir, tetapi perlu dipertimbangkan ke
mana limbah akan dibuang," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar
lakukan yang terbaik