PENGENDALIAN ATAU KONTROL SOSIAL
A. PENGENDALIAN SOSIAL
Dalam
kehidupan sehari-hari, sepanjang semua anggota masyarakat bersedia
menaati aturan yang berlaku, hampir bisa dipastikan kehidupan
bermasyarakat akan bisa berlangsung dengan lancar dan tertib. Tetapi,
berharap semua anggota masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu
merupakan hal yang mahal. Di dalam kenyataan, tentu tidak semua orang
akan selalu bersedia dan bisa memenuhi ketentuan atau aturan yang
berlaku dan bahkan tidak jarang ada orang-orang tertentu yang sengaja
melanggar aturan yang berlaku untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya.
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut ( Soekanto, 181:45)
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut ( Soekanto, 181:45)
- Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
- Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
- Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
- Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.
Pada
situasi di mana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau
menyimpangi sesuatu norma dia malahan akan bisa memperoleh sesuatu
reward atau sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka di dalam hal
demikianlah enforcement demi tegaknya norma lalu terpaksa harus
dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari luar. Norma tidak lagi
self-enforcing (norma-norma sosial tidak lagi dapat terlaksana atas
kekuatannya sendiri ), dan akan gantinya harus dipertahankan oleh
petugas-petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau membebankan
sanksi-sanksi kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau
menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat – atas dasar kekuatan otoritasnya – mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosiap pada dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat – atas dasar kekuatan otoritasnya – mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosiap pada dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
- Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma.
- Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-norma, dan tidak menurut kemauan individu-individu.
- Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati kaiah atau norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni :
1. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
2. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.
1. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
2. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.
B. JENIS-JENIS PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian
sosial dimaksudkan agar anggota masyarkat mematuhi norma-norma sosial
sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial. Untuk maksud
tersebut, dikenal beberapa jenis pengendalian. Penggolongan ini dibuat
menurut sudut pandang dari mana seseorang melihat pengawasan tersebut.
- Pengendalian preventif merupakan kontrol sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi ”mengancam sanksi” atau usaha pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai. Jadi, usaha pengendalian sosial yang bersifat preventif dilakukan sebelum terjadi penyimpangan.
- Pengendalian represif ; kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti semula dengan dijalankan di dalam versi “menjatuhkan atau membebankan, sanksi”. Pengendalian ini berfungsi untuk mengembalikan keserasian yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku meyimpang. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula, perlu diadakan pemulihan. Jadi, pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak yang berperilaku menyimpang tentang akibat dari penyimpangan tersebut, sekaligus agar dia mematuhi norma-norma sosial.
- c. Pengendalian sosial gabungan merupakan usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif). Usaha pengendalian dengan memadukan ciri preventif dan represif ini dimaksudkan agar suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma dan kalaupun terjadi penyimpangan itu tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang lain.
- Pengendalian resmi (formal) ialah pengawasan yang didasarkan atas penugasan oleh badan-badan resmi, misalnya negara maupun agama.
- Pengawasan tidak resmi (informal) dilaksanakan demi terpeliharanya peraturan-peraturan yang tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak resmi karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas, tidak ditemukan dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat.
- Pengendalian institusional ialah pengaruh yang datang dari suatu pola kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan kiadah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol para anggota lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada di luar lembaga tersebut.
- Pengendalian berpribadi ialah pengaruh baik atau buruk yang datang dari orang tertentu. Artinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal. Bahkan silsilah dan riwayat hidupnya, dan teristimewa ajarannya juga dikenal.
C. CARA DAN FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :
Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :
1. Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.
2. Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut.
Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang sifatnya akrab dan informal seperti keluarga, kelompok bermain, klik ) biasanya bersifat informal, spontan, dan tidak direncanakan, biasanya berupa ejekan, menertawakan, pergunjingan (gosip) dan pengasingan.
Pengendalian sosial yang diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok masyarkat yang lebih besar yang tidak bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat buruh, perkumpulan seniman, dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat formal. Alat pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang standar, kenaikan pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta hukuman formal.
3. Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.
Disamping cara di atas juga agar proses pengendalian berlangsung secara efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan, perlu dberlakukan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya yang berlaku.
a. Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap yang hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
b. Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ; biasanya dilakukan bagi masyarakat yang kurang tenteram, misalnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).
Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan pervasi.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang -ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.
2. Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan rasa malu
d. Mengembangkan rasa takut
e. Menciptakan sistem hukum
Kontrol sosial – di dalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma-hampir selalu dijalankan dengan bersarankan kekuatan sanksi (sarana yang lain:pemberian incentive positif). Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masy arakat yang terbukti melanggar atau menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1. Sanksi yang bersifat fisik,
2. Sanksi yang bersifat psikologik, dan
3. Sanksi yang bersifat ekonomik.
Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman), dan sanksi ekonomik ( karena dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah, Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Incentive yang bersifat fisik;
2. Incentive yang bersifat psikologik; dan
3. Incentive yang bersif ekonomik.
Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.
2. Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut.
Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang sifatnya akrab dan informal seperti keluarga, kelompok bermain, klik ) biasanya bersifat informal, spontan, dan tidak direncanakan, biasanya berupa ejekan, menertawakan, pergunjingan (gosip) dan pengasingan.
Pengendalian sosial yang diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok masyarkat yang lebih besar yang tidak bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat buruh, perkumpulan seniman, dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat formal. Alat pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang standar, kenaikan pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta hukuman formal.
3. Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.
Disamping cara di atas juga agar proses pengendalian berlangsung secara efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan, perlu dberlakukan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya yang berlaku.
a. Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap yang hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
b. Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ; biasanya dilakukan bagi masyarakat yang kurang tenteram, misalnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).
Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan pervasi.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang -ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.
2. Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan rasa malu
d. Mengembangkan rasa takut
e. Menciptakan sistem hukum
Kontrol sosial – di dalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma-hampir selalu dijalankan dengan bersarankan kekuatan sanksi (sarana yang lain:pemberian incentive positif). Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masy arakat yang terbukti melanggar atau menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1. Sanksi yang bersifat fisik,
2. Sanksi yang bersifat psikologik, dan
3. Sanksi yang bersifat ekonomik.
Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman), dan sanksi ekonomik ( karena dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah, Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Incentive yang bersifat fisik;
2. Incentive yang bersifat psikologik; dan
3. Incentive yang bersif ekonomik.
Incentive
fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta pula tidak begitu mudah
diadakan. Pun, andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang
diperoleh daripadanya tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita yang
dirasakan di dalam sanksi fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di
kepala, pelukan, ciuman tidaklah akan sebanding dengan ekstremitas
penderitaan sanksi fisik seperti hukuman cambuk, hukuman kerja paksa,
hukuman gantung dan lain sebagainya. Bernilai sekadar sebagai simbol,
kebanyakan incentive fisik lebih tepat dirasakan sebagai incentive
psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan psikologik
tidak kalah pentingnya adalah incentive ekonomik. Incentive ekonomik
kebanyakan berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang
yang lebih banyak.
Apakah kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga masyarakat agar selalu conform dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian menyebabkan masyarakat selalu berada di dalam keadaan tertib ) ? Ternyata tidak. Usaha-usaha kontrol sosial ternyata tidak berhasil menjamin terselenggaranya ketertiban masyarakat secara mutlak, tanpa ada pelanggaran atau penyimpangan norma-norma sosial satu kalipun.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
1. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan ;
2. Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu;
3. Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu,
4. Besar-kecilnya dan bersifat anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan; dan
5. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.
1. Menarik-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2. Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
3. Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers.
Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif.
4. Besar-Kecilnya dan Bersifat Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.
Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.
5. Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksiyang seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
a. Ekstrim-tidaknya pelanggaran norma itu;
b. Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi;
c. Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran; dan
d. Asasi-tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
Kontrol atau pengendalian sosial mengacu kepada berbagai alat yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota yang kepala batu ke dalam relnya. Tidak ada masyarakat yang bisa berjalan tanpa adanya kontrol sosial.
Bentuk kontrol sosial atau cara-cara pemaksaan konformitas relatif beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara persuasif atau dengan cara koersif. Cara persuasif terjadi apabila pengendalian sosial ditekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan pada kekeraan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan fisik. Menurut Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun jangka waktu yang dikehendaki.
Di dalam masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan kaidah sosial tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kesadaran warga masyarakat atau pada rasa sungkan warga masyarakat itu sendiri. Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang makin modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat petugas kontrol sosial.
Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat, tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya.
Apakah kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga masyarakat agar selalu conform dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian menyebabkan masyarakat selalu berada di dalam keadaan tertib ) ? Ternyata tidak. Usaha-usaha kontrol sosial ternyata tidak berhasil menjamin terselenggaranya ketertiban masyarakat secara mutlak, tanpa ada pelanggaran atau penyimpangan norma-norma sosial satu kalipun.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
1. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan ;
2. Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu;
3. Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu,
4. Besar-kecilnya dan bersifat anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan; dan
5. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.
1. Menarik-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2. Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
3. Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers.
Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif.
4. Besar-Kecilnya dan Bersifat Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.
Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.
5. Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksiyang seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
a. Ekstrim-tidaknya pelanggaran norma itu;
b. Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi;
c. Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran; dan
d. Asasi-tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
Kontrol atau pengendalian sosial mengacu kepada berbagai alat yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota yang kepala batu ke dalam relnya. Tidak ada masyarakat yang bisa berjalan tanpa adanya kontrol sosial.
Bentuk kontrol sosial atau cara-cara pemaksaan konformitas relatif beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara persuasif atau dengan cara koersif. Cara persuasif terjadi apabila pengendalian sosial ditekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan pada kekeraan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan fisik. Menurut Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun jangka waktu yang dikehendaki.
Di dalam masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan kaidah sosial tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kesadaran warga masyarakat atau pada rasa sungkan warga masyarakat itu sendiri. Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang makin modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat petugas kontrol sosial.
Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat, tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya.
“Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, J.dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)
Pengertian Pengendalian Sosial
Pengertian pengendalian sosial menurut para sosiolog,
antara lain sebagai berikut.
a. Menurut Joseph S. Roucek
Pengendalian sosial adalah suatu istilah kolektif yang
mengacu pada proses terencana ataupun tidak terencana
yang mengajarkan, membujuk atau memaksa individu untuk
menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilainilai
kelompok.
b. Menurut Peter L. Berger
Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan
oleh masyarakat untuk menertibkan anggota-anggotanya
membangkang.
c. Menurut Horton
Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang
ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat, sehingga
para anggotanya dapat bertindak sesuai harapan kelompok
atau masyarakat.
d. Menurut Soetandyo Wignyo Subroto
Pengendalian sosial adalah sanksi, yaitu suatu bentuk penderitaan
yang secara sengaja diberikan oleh masyarakat.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pengendalian sosial adalah proses yang digunakan oleh
seseorang atau kelompok untuk memengaruhi, mengajak,
bahkan memaksa individu atau masyarakat agar berperilaku
sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat,
sehingga tercipta ketertiban di masyarakat.
Sifat-Sifat Pengendalian Sosial
Sifat-sifat pengendalian sosial dapat dibedakan menjadi
tiga sebagai berikut.
a. Preventif
Pengendalian sosial bersifat preventif adalah pengen-dalin
sosial yang dilakukan sebelum terjadi penyimpangan
terhadap nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Dengan kata lain tindakan preventif merupakan tindakan
pencegahan.
Contoh:
1) Seorang ibu melarang anak lelakinya merokok karena
merokok dapat merusak kesehatan.
2) Polisi menegur pemakai jalan raya yang melanggar
rambu-rambu lalu lintas.
b. Kuratif
Pengendalian sosial bersifat kuratif adalah pengendalian
sosial yang dilakukan pada saat terjadi penyimpangan
sosial.
Contoh:
Seorang guru menegur dan menasihati siswanya karena
ketahuan menyontek pada saat ulangan.
c. Represif
Pengendalian sosial bersifat represif adalah pengendalian
sosial yang bertujuan mengembalikan keserasian yang
pernah terganggu karena terjadinya suatu pelanggaran.
Pengendalian ini dilakukan setelah seseorang melakukan
penyimpangan.
Contoh:
Seorang guru memberi tambahan pekerjaan rumah dua
kali lipat saat mengetahui siswanya tidak mengerjakan
pekerjaan rumah yang ditugaskan padanya.
Jenis-Jenis Pengendalian Sosial
Dalam pergaulan sehari-hari kita akan menjumpai
berbagai jenis pengendalian sosial yang digunakan untuk
mencegah atau mengatasi perilaku menyimpang. Jenis
pengendalian tersebut antara lain berikut ini.
a. Gosip atau desas-desus
Gosip atau desas-desus adalah bentuk pengendalian
sosial atau kritik sosial yang dilontarkan secara tertutup
oleh masyarakat.
106 Sosiologi SMA Jilid 1
Gosip sering kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat, yakni apabila ada
individu/kelompok yang tindakannya
menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma
sosial yang berlaku, maka individu tersebut
akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat.
Contoh: apabila ada seseorang siswa
SMA diketahui temannya terlibat penyalahgunaan
obat terlarang dan minum-minuman
keras. Siswa tersebut akan menjadi bahan
pembicaraan/gosip teman-teman sekolahnya
yang kemudian berkembang menjadi bahan
pembicaraan guru, orang tua, dan masyarakat sekitar. Kritik
sosial yang dilakukan masyarakat dalam bentuk gosip/
desas-desus tersebut dapat berperan sebagai pengendalian
sosial. Dari adanya gosip tersebut pelaku merasakan
bahwa dia melakukan suatu pelanggaran norma-norma
sosial. Misalnya seorang gadis yang hamil, ia segera
mendesak pacarnya untuk menikahi, atau meminta segera
dinikahkan secara resmi oleh orang tuanya. Demikian pula
bagi pelajar SMA yang terlibat penggunaan obat terlarang,
ia akan segera menghentikan tindakannya.
b. Teguran
Teguran adalah kritik sosial yang dilontarkan secara
terbuka oleh masyarakat terhadap warga masyarakat yang
berperilaku menyimpang. Teguran ini umumnya dilakukan
oleh orang-orang dewasa seperti para orang tua, guru,
tokoh-tokoh masyarakat dan para pemimpin masyarakat.
Dalam pelaksanaannya teguran ada dua macam, yaitu
teguran lisan dan teguran tertulis. Teguran lisan adalah
teguran yang dilontarkan secara lisan kepada individu yang
berperilaku menyimpang. Misalnya teguran orang tua
secara langsung terhadap anaknya yang berperilaku
menyimpang, teguran guru kepada siswa yang melanggar,
teguran lisan pemimpin terhadap bawahannya yang
melanggar, dan sebagainya.
Adapun teguran tertulis adalah bentuk teguran yang
dilakukan secara tidak langsung, tetapi melalui surat. Teguran
tertulis pada umumnya dilakukan oleh pemimpin kepada
bawahannya karena kewenangan dalam suatu organisasi
atau instansi tertentu. Misalnya teguran tertulis melalui
surat dari kepala sekolah terhadap guru yang melanggar,
teguran tertulis dari kepala desa kepada aparatnya yang
melanggar, teguran tertulis dari gubernur kepada bupatiyang melanggar, dan sebagainya. Kritik sosial bentuk
teguran ini dapat berperan pula sebagai pengendalian sosial,
karena mereka yang berperilaku menyimpang itu jika ditegur
atasannya cenderung memperbaiki sikap dan tindakannya.
c. Pendidikan
Pendidikan juga berperan sebagai alat pengendalian
sosial, karena pendidikan dapat membina dan mengarahkan
warga masyarakat (terutama anak sekolah) kepada pembentukan
sikap dan tindakan yang bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Menurut pendapat para ahli sosiologi maupun ahli
psikologi, bahwa pengaruh pendidikan sangat menentukan
proses pembentukan kepribadian seseorang. Individu yang
berpendidikan baik cenderung berperilaku lebih baik dari
pada individu yang kurang berpendidikan. Berpendidikan
artinya individu mempunyai, mengalami, dan mengikuti
pendidikan yang sempurna dalam kehidupannya sehingga
ia dapat membedakan mana yang benar dan salah, mana
yang baik dan buruk, atau mana yang boleh dan tidak boleh.
Sebaliknya individu yang kurang pendidikan, ia cenderung
mengalami kesulitan penyesuaian dirinya dalam interaksi
sosial di masyarakat.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka pendidikan dapat
berfungsi untuk mencegah dan mengatasi perilaku
menyimpang dari warga masyarakat.
d. Agama
Sama halnya dengan pendidikan, agama pun dapat
berperan sebagai alat pengendalian sosial. Agama dapat
memengaruhi sikap dan perilaku para pemeluknya dalam
pergaulan hidup bermasyarakat. Agama pada dasarnya
berisikan perintah, larangan, dan anjuran kepada pemeluk
dalam menjalani hidup sebagai makhluk pribadi, makhluk
Tuhan, dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Norma-norma
agama berfungsi untuk membimbing dan mengarahkan para
pemeluk agama dalam bersikap dan bertindak di
masyarakat.
Apabila individu yang beragama tersebut berperilaku
menyimpang atau bertindak melanggar norma-norma
agama, tentu ia akan dicekam perasaan bersalah atau
berdosa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi penganut
agama yang baik tentu ia akan berusaha menghindari
perilaku yang melanggar norma-norma agamanya. Dengan
demikian jelaslah, bahwa agama sangat berperan sebagai
alat pengendalian sosial.
108 Sosiologi SMA Jilid 1
e. Hukuman (Punishment)
Menyimak keempat jenis pengendalian sosial di
depan, yakni gosip, teguran, pendidikan, dan agama
dirasakan kurang tegas dan nyata sanksinya bagi individu
yang berperilaku menyimpang. Dalam kenyataan seharihari
di dalam masyarakat, terdapat pula individu-individu
yang tebal muka. Sudah hilang rasa
malunya atau tidak percaya adanya
siksa Tuhan. Mereka tentu tidak
jera sekalipun digosipkan, ditegur,
ataupun diberikan pendidikan/pengarahan.
Oleh karena itu diperlukan
adanya hukum fisik seperti hukuman
mati, hukuman penjara, hukuman
denda atau pencabutan hak-hak
oleh masya-rakat/pemerintah.
Dengan adanya sanksi hukuman yang keras tersebut,
diharapkan bisa membuat jera bagi para pelanggar, sehingga
tidak berani mengulanginya lagi. Tidak hanya si pelaku,
tetapi juga berpengaruh besar terhadap warga masyarakat
lainnya. Jadi, jelas bahwa hukuman merupakan alat
pengendalian sosial yang paling keras dan tegas dibandingkan
jenis pengendalian sosial. Misalnya individu yang
melakukan pemerkosaan, penyalahgunaan narkotika dan
obat-obatan terlarang, pencurian ataupun pembunuhan.
Mereka tentu tidak akan banyak pengaruhnya bila hanya
digosipkan atau ditegur begitu saja, melainkan harus diberi
hukuman yang seberat-beratnya agar tidak mengulangi lagi
perbuatan tersebut.
6. Cara-Cara Pengendalian Sosial
Ada beberapa macam cara pengendalian sosial agar
individu dan masyarakat berperilaku sesuai dengan apa yang
diharapkan. Cara pengendalian tersebut antara lain sebagai
berikut.
a. Cara persuasif
Cara persuasif dalam pengendalian sosial dilakukan
dengan menekankan pada usaha mengajak dan
membimbing anggota masyarakat agar bertindak sesuai
dengan cara persuasif. Pengendalian sosial dengan cara
persuasif biasanya diterapkan pada masyarakat yang relatif
tenteram, norma dan nilai sosial sudah melembaga atau
menyatu dalam diri para warga masyarakatnya. Selain itu
cara persuasif juga menekankan pada segi nilai
pengetahuan (kognitif) dan nilai sikap (afektif).
Sumber: Ensiklopedi Umum
untuk Pelajar, 2005
�� Gambar 5.6 Hukuman
penjara merupakan sanksi
keras agar para pelanggar
kejahatan jera dan tidak
berani mengulanginya.
Penyimpangan dan Pengendalian Sosial 109
Contoh cara persuasif:
Seorang guru membimbing dan membina siswanya yang
kedapatan menyontek pada saat ulangan. Guru memberikan
pengertian bahwa menyontek itu menunjukkan sikap tidak
percaya diri dan kelak di kemudian hari menjadikan ia
seorang yang bodoh dan tidak jujur.
b. Cara koersif
Cara koersif dalam pengendalian sosial dilakukan
dengan kekerasan atau paksaan. Biasanya cara koersif
dilakukan dengan menggunakan kekuatan fisik. Cara
koersif dilakukan sebagai upaya terakhir apabila cara
pengendalian persuasif tidak berhasil. Selain itu cara koersif
akan membawa dampak negatif secara langsung maupun
tidak langsung, karena menyelesaikan masalah dengan
kekerasan akan menimbulkan banyak kekerasan pula.
Pengendalian sosial dengan cara koersif dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.
1) Kompulsif (compulsion) yaitu kondisi/situasi yang
sengaja diciptakan sehingga seseorang terpaksa taat
atau patuh pada norma-norma.
Misalnya: untuk membuat jera para pencopet, apabila
tertangkap basah langsung dikeroyok dan dihakimi
massa.
2) Pervasi (pengisian) yaitu penanaman norma secara
berulang-ulang dengan harapan bahwa norma tersebut
masuk ke dalam kesadaran seseorang, sehingga
orang tersebut akan mengubah sikapnya sesuai yang
diinginkan.
Misalnya: bimbingan orang tua terhadap anak-anaknya
secara terus-menerus.
Sumber bse, sosiologi.
Sifat-sifat pengendalian sosial dapat dibedakan menjadi
tiga sebagai berikut.
a. Preventif
Pengendalian sosial bersifat preventif adalah pengen-dalin
sosial yang dilakukan sebelum terjadi penyimpangan
terhadap nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Dengan kata lain tindakan preventif merupakan tindakan
pencegahan.
Contoh:
1) Seorang ibu melarang anak lelakinya merokok karena
merokok dapat merusak kesehatan.
2) Polisi menegur pemakai jalan raya yang melanggar
rambu-rambu lalu lintas.
b. Kuratif
Pengendalian sosial bersifat kuratif adalah pengendalian
sosial yang dilakukan pada saat terjadi penyimpangan
sosial.
Contoh:
Seorang guru menegur dan menasihati siswanya karena
ketahuan menyontek pada saat ulangan.
c. Represif
Pengendalian sosial bersifat represif adalah pengendalian
sosial yang bertujuan mengembalikan keserasian yang
pernah terganggu karena terjadinya suatu pelanggaran.
Pengendalian ini dilakukan setelah seseorang melakukan
penyimpangan.
Contoh:
Seorang guru memberi tambahan pekerjaan rumah dua
kali lipat saat mengetahui siswanya tidak mengerjakan
pekerjaan rumah yang ditugaskan padanya.
Jenis-Jenis Pengendalian Sosial
Dalam pergaulan sehari-hari kita akan menjumpai
berbagai jenis pengendalian sosial yang digunakan untuk
mencegah atau mengatasi perilaku menyimpang. Jenis
pengendalian tersebut antara lain berikut ini.
a. Gosip atau desas-desus
Gosip atau desas-desus adalah bentuk pengendalian
sosial atau kritik sosial yang dilontarkan secara tertutup
oleh masyarakat.
106 Sosiologi SMA Jilid 1
Gosip sering kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat, yakni apabila ada
individu/kelompok yang tindakannya
menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma
sosial yang berlaku, maka individu tersebut
akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat.
Contoh: apabila ada seseorang siswa
SMA diketahui temannya terlibat penyalahgunaan
obat terlarang dan minum-minuman
keras. Siswa tersebut akan menjadi bahan
pembicaraan/gosip teman-teman sekolahnya
yang kemudian berkembang menjadi bahan
pembicaraan guru, orang tua, dan masyarakat sekitar. Kritik
sosial yang dilakukan masyarakat dalam bentuk gosip/
desas-desus tersebut dapat berperan sebagai pengendalian
sosial. Dari adanya gosip tersebut pelaku merasakan
bahwa dia melakukan suatu pelanggaran norma-norma
sosial. Misalnya seorang gadis yang hamil, ia segera
mendesak pacarnya untuk menikahi, atau meminta segera
dinikahkan secara resmi oleh orang tuanya. Demikian pula
bagi pelajar SMA yang terlibat penggunaan obat terlarang,
ia akan segera menghentikan tindakannya.
b. Teguran
Teguran adalah kritik sosial yang dilontarkan secara
terbuka oleh masyarakat terhadap warga masyarakat yang
berperilaku menyimpang. Teguran ini umumnya dilakukan
oleh orang-orang dewasa seperti para orang tua, guru,
tokoh-tokoh masyarakat dan para pemimpin masyarakat.
Dalam pelaksanaannya teguran ada dua macam, yaitu
teguran lisan dan teguran tertulis. Teguran lisan adalah
teguran yang dilontarkan secara lisan kepada individu yang
berperilaku menyimpang. Misalnya teguran orang tua
secara langsung terhadap anaknya yang berperilaku
menyimpang, teguran guru kepada siswa yang melanggar,
teguran lisan pemimpin terhadap bawahannya yang
melanggar, dan sebagainya.
Adapun teguran tertulis adalah bentuk teguran yang
dilakukan secara tidak langsung, tetapi melalui surat. Teguran
tertulis pada umumnya dilakukan oleh pemimpin kepada
bawahannya karena kewenangan dalam suatu organisasi
atau instansi tertentu. Misalnya teguran tertulis melalui
surat dari kepala sekolah terhadap guru yang melanggar,
teguran tertulis dari kepala desa kepada aparatnya yang
melanggar, teguran tertulis dari gubernur kepada bupatiyang melanggar, dan sebagainya. Kritik sosial bentuk
teguran ini dapat berperan pula sebagai pengendalian sosial,
karena mereka yang berperilaku menyimpang itu jika ditegur
atasannya cenderung memperbaiki sikap dan tindakannya.
c. Pendidikan
Pendidikan juga berperan sebagai alat pengendalian
sosial, karena pendidikan dapat membina dan mengarahkan
warga masyarakat (terutama anak sekolah) kepada pembentukan
sikap dan tindakan yang bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Menurut pendapat para ahli sosiologi maupun ahli
psikologi, bahwa pengaruh pendidikan sangat menentukan
proses pembentukan kepribadian seseorang. Individu yang
berpendidikan baik cenderung berperilaku lebih baik dari
pada individu yang kurang berpendidikan. Berpendidikan
artinya individu mempunyai, mengalami, dan mengikuti
pendidikan yang sempurna dalam kehidupannya sehingga
ia dapat membedakan mana yang benar dan salah, mana
yang baik dan buruk, atau mana yang boleh dan tidak boleh.
Sebaliknya individu yang kurang pendidikan, ia cenderung
mengalami kesulitan penyesuaian dirinya dalam interaksi
sosial di masyarakat.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka pendidikan dapat
berfungsi untuk mencegah dan mengatasi perilaku
menyimpang dari warga masyarakat.
d. Agama
Sama halnya dengan pendidikan, agama pun dapat
berperan sebagai alat pengendalian sosial. Agama dapat
memengaruhi sikap dan perilaku para pemeluknya dalam
pergaulan hidup bermasyarakat. Agama pada dasarnya
berisikan perintah, larangan, dan anjuran kepada pemeluk
dalam menjalani hidup sebagai makhluk pribadi, makhluk
Tuhan, dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Norma-norma
agama berfungsi untuk membimbing dan mengarahkan para
pemeluk agama dalam bersikap dan bertindak di
masyarakat.
Apabila individu yang beragama tersebut berperilaku
menyimpang atau bertindak melanggar norma-norma
agama, tentu ia akan dicekam perasaan bersalah atau
berdosa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi penganut
agama yang baik tentu ia akan berusaha menghindari
perilaku yang melanggar norma-norma agamanya. Dengan
demikian jelaslah, bahwa agama sangat berperan sebagai
alat pengendalian sosial.
108 Sosiologi SMA Jilid 1
e. Hukuman (Punishment)
Menyimak keempat jenis pengendalian sosial di
depan, yakni gosip, teguran, pendidikan, dan agama
dirasakan kurang tegas dan nyata sanksinya bagi individu
yang berperilaku menyimpang. Dalam kenyataan seharihari
di dalam masyarakat, terdapat pula individu-individu
yang tebal muka. Sudah hilang rasa
malunya atau tidak percaya adanya
siksa Tuhan. Mereka tentu tidak
jera sekalipun digosipkan, ditegur,
ataupun diberikan pendidikan/pengarahan.
Oleh karena itu diperlukan
adanya hukum fisik seperti hukuman
mati, hukuman penjara, hukuman
denda atau pencabutan hak-hak
oleh masya-rakat/pemerintah.
Dengan adanya sanksi hukuman yang keras tersebut,
diharapkan bisa membuat jera bagi para pelanggar, sehingga
tidak berani mengulanginya lagi. Tidak hanya si pelaku,
tetapi juga berpengaruh besar terhadap warga masyarakat
lainnya. Jadi, jelas bahwa hukuman merupakan alat
pengendalian sosial yang paling keras dan tegas dibandingkan
jenis pengendalian sosial. Misalnya individu yang
melakukan pemerkosaan, penyalahgunaan narkotika dan
obat-obatan terlarang, pencurian ataupun pembunuhan.
Mereka tentu tidak akan banyak pengaruhnya bila hanya
digosipkan atau ditegur begitu saja, melainkan harus diberi
hukuman yang seberat-beratnya agar tidak mengulangi lagi
perbuatan tersebut.
6. Cara-Cara Pengendalian Sosial
Ada beberapa macam cara pengendalian sosial agar
individu dan masyarakat berperilaku sesuai dengan apa yang
diharapkan. Cara pengendalian tersebut antara lain sebagai
berikut.
a. Cara persuasif
Cara persuasif dalam pengendalian sosial dilakukan
dengan menekankan pada usaha mengajak dan
membimbing anggota masyarakat agar bertindak sesuai
dengan cara persuasif. Pengendalian sosial dengan cara
persuasif biasanya diterapkan pada masyarakat yang relatif
tenteram, norma dan nilai sosial sudah melembaga atau
menyatu dalam diri para warga masyarakatnya. Selain itu
cara persuasif juga menekankan pada segi nilai
pengetahuan (kognitif) dan nilai sikap (afektif).
Sumber: Ensiklopedi Umum
untuk Pelajar, 2005
�� Gambar 5.6 Hukuman
penjara merupakan sanksi
keras agar para pelanggar
kejahatan jera dan tidak
berani mengulanginya.
Penyimpangan dan Pengendalian Sosial 109
Contoh cara persuasif:
Seorang guru membimbing dan membina siswanya yang
kedapatan menyontek pada saat ulangan. Guru memberikan
pengertian bahwa menyontek itu menunjukkan sikap tidak
percaya diri dan kelak di kemudian hari menjadikan ia
seorang yang bodoh dan tidak jujur.
b. Cara koersif
Cara koersif dalam pengendalian sosial dilakukan
dengan kekerasan atau paksaan. Biasanya cara koersif
dilakukan dengan menggunakan kekuatan fisik. Cara
koersif dilakukan sebagai upaya terakhir apabila cara
pengendalian persuasif tidak berhasil. Selain itu cara koersif
akan membawa dampak negatif secara langsung maupun
tidak langsung, karena menyelesaikan masalah dengan
kekerasan akan menimbulkan banyak kekerasan pula.
Pengendalian sosial dengan cara koersif dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.
1) Kompulsif (compulsion) yaitu kondisi/situasi yang
sengaja diciptakan sehingga seseorang terpaksa taat
atau patuh pada norma-norma.
Misalnya: untuk membuat jera para pencopet, apabila
tertangkap basah langsung dikeroyok dan dihakimi
massa.
2) Pervasi (pengisian) yaitu penanaman norma secara
berulang-ulang dengan harapan bahwa norma tersebut
masuk ke dalam kesadaran seseorang, sehingga
orang tersebut akan mengubah sikapnya sesuai yang
diinginkan.
Misalnya: bimbingan orang tua terhadap anak-anaknya
secara terus-menerus.
0 komentar:
Posting Komentar
lakukan yang terbaik