Kamis, 05 Januari 2012

MAKALAH INTERAKSI SOSIAL DAN MASALAH-MASALAH SOSIAL

MAKALAH

INTERAKSI SOSIAL DAN
MASALAH-MASALAH SOSIAL



Makalah ini disajikan dalam Kegiatan Penataran Guru
Mata Pelajaran Sosiologi SMA Tingkat Nasional Pola
Dukung 120 @ 45 menit di PPPPTK P.Kn dan IPS Malang
Pada Tanggal 22 Juni s.d 5 Juli 2010






Oleh:

Dr. ARIFIN, M.Si.
( Guru Sosiologi SMA Islam dan
Dosen Sosiologi di FPISH IKIP Budi Utomo Malang )






KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDRAL PENINGKATAN MUTU
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
PPPPTK P.Kn. DAN IPS MALANG

2010





KATA PENGANTAR

Berkat Rakhat Tuhan Yang Maha Segala-galanya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul ‘Interaksi Sosial dan Masalah-Masalah Sosial’, sesuai dengan rencana waktu yang ditentukan. Makalah ini disajikan pada kegiatan Penataran Guru Mata Pelajaran Sosiologi SMA Tingkat Nasional Pola Dukung 120 @ 45 menit, di PPPPTK P.Kn dan IPS Malang Pada Tanggal 22 Juni s.d 5 Juli 2010

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Kepala PPPPTK P.Kn dan IPS di Malang yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyajikan makalah atau pemateri pada kegiatan penataran Guru Mata Pelajaran Sosiologi SMA Tingkat Nasional pada tanggal 22 Juni s.d 5 Juli 2010.

Menurut para ahli, tidak ada satupun karya ilmiah yang mengkaji tentang fenomena kehidupan sosial budaya yang telah mencapai tingkat kesempurnaan analisis. Oleh karena itu perbedaan sudut pandang dan interpretasi tentang suatu fenomena sosial budaya adalah suatu ‘keniscayaan’, hal ini disebabkan oleh beragam faktor, yaitu adanya: (a) keberagaman orientasi filosofis; (b) keberagaman orientasi teoritik; (c) keberagaman fokus masalah dan pendekatan atau metode analisisnya; (d) keberagaman latar belakang disiplin keilmuan seseorang; dan (e) perbedaan kondisi waktu dan ruang (time and space) yang dialaminya.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang tersaji dalam makalah ini masih banyak sisi kekurangannya. Oleh karena itu beberapa konsep teoritik tentang ‘Interaksi sosial dan masalah-masalah sosial’ pada masyarakat Indonesia yang multicultural, yang belum diungkap dalam makalah ini dapat dijelaskan atau dikomunikasikan dalam proses diskusi pada saat penyajian makalah.

Akhirnya, semoga apa yang tersaji dalam makalah ini dapat memberikan manfaat bagi Bapak atau Ibu guru peserta penataran dalam rangka meningkatkan kualitas kompetensi profesionalnya selama mengemban amanat sebagai guru Sosiologi di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Aamiin.




Malang, Juni 2010




Penulis














DAFTAR ISI

- HALAMAN SAMPUL .................................................................................................... 01
- KATA PENGANTAR .................................................................................................... 02
- DAFTAR ISI ................................................................................................................. 03
I. INTERAKSI SOSIAL
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Interaksi Sosial .................................................... 04
B. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial ......................................... ............................... 05
C. Faktor-Faktor Yang Mendasari Proses Interaksi Sosial ........................................ 05
D.Tahap –Tahap Keteraturan Sosial Dalam Interaksi Sosial... ................................. 05
E. Proses Sosial Asosiattif dan Disosiatif ................................................................... 06

II. MASALAH (PROBLEM) SOSIAL

A. Pengertian Masalah (problem) Sosial .................................................................... 07
B. Masalah Sosial Dalam Perspektif Teoritis ............................................................. 07
C. Sumber Masalah Sosial Dalam Pendekatan Individu
Dan Pendekatan Kelompok .......……………………………………………………. 08
D. Beragam Masalah Sosial Dalam Pembangunan:
1. Masalah kemiskinan ....................................................................................... 09
2. Masalah kenakalan remaja ……………………………………………………. 10
3. Masalah lingkungan hidup ……………………………………………………... 10
4. Masalah konflik SARA …………………………………………………………. 11
5. Masalah kriminalitas ......................... .......……………………………………. 12
6. Masalah aksi protes,pergolakan daerah dan pelanggaran HAM ........……… 12

- DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 13
- RIWAYAT HIDUP PENULIS .......................................................................................... 13




















I. INTERAKSI SOSIAL
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Interaksi Sosial

1. Pengertian interaksi sosial
Interaksi sosial adalah ‘hubungan timbal balik antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok dalam proses-proses sosial di masyarakat’. Hubungan timbal balik tersebut disertai dengan adanya kontak sosial dan komunikasi. Oleh karena itu syarat utama terjadinya interaksi sosial adalah: (a) adanya kontak sosial antar kedua belah pihak; dan (b) adanya komunikasi sosial antara kedua belah pihak.
Sedangkan pengertian proses sosial adalah ‘proses interaksi antar aspek atau unsur sosial disepanjang aktivitas kehidupan manusia di masyarakat’. Wujud dari aktivitas proses sosial adalah kegiatan-kegiatan sosial individu dan kelompok dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidupnya. Diantara konsep dasar dalam kajian tetang proses sosial adalah ‘interaksi sosial’. Oleh karena itu menurut para ahli, inti atau dasar dari proses-proses sosial di masyarakat adalah ‘interaksi sosial’ (Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969; Soekanto, S, 2002). Proses-proses sosial dalam kehidupan di masyarakat bersifat dinamik, dan mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku di masyarakat.

2. Fungsi interaksi sosial
Proses interaksi sosial yang bertentuk kerjasama atau kooperatif (asosiatif) mempunyai fungsi positif antara lain: (a) proses pencapaian tujuan hidup individu atau kelompok lebih mudah terwujud; (b) mendorong terwujudnya pola kehidupan individu atau kelompok secara integratif; (c) setiap individu dapat meningkatkan kualitas beragam peran sosial dalam kehidupan kelompok; (d) mendorong terbangunnya sikap mental positif pada setiap individu dalam proses-proses sosialnya; dan (e) mendorong lahirnya beragam inovasi di berbagai bidang menuju masyarakt madani (masyarakat beradab).
Dalam batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk persaingan atau kompetisi (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, antara lain: (a) menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif; (b) sebagai media tersalurkannya keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian secara baik oleh mereka yang bersaing; (c) merupakan alat untuk menempatkan individu pada status dan peran yang sesuai dengan kemampua/ keahliannya; dan (d) sebagai alat menjaring para individu atau kelompok yang akhirnya menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
Demikian juga, dalam batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk konflik (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, yaitu: (a) dapat mendorong terjadinya perubahan pola perilaku seseorang atau kelompok ke arah yang lebih baik; (b) dapat mendorong terjadinya atau terbangunnya solidaritas ingroup dalam kehidupan kelompok; dan (c) dapat mendorong lahirnya karya demi karya yang lebih inovatif atau lebih maju (Wilson, E.K. 1966; Mack, R. and Pease, J. 1973).

3. Tujuan interaksi sosial
Interaksi sosial merupakan faktor paling kunci dalam proses-proses sosial. Diantara tujuan seseorang melakukan interaksi sosial antara lain: (a) untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan tertentu, baik yang bersifat individu atau kelompok; (b) untuk proses pemenuhan aneka kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial atau pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik; (c) untuk meningkatkan kualitas kompetensi diri dalam berbagai aspek kehidupan sosial di masyarakat; (d) untuk membangun solidaritas ingroup atau outgroup dalam kehidupan sosial di masyarakat; dan (e) dalam rangka mendapat masukan atau media evaluai diri atau refleksi diri tentag pola perilaku yang telah di lakukan dalam proses-proses sosial (Horton, P. and Hunt, C.L. 1984; Sunarto, K. 2000).
Dalam rangka mewujudkan tujuan interaksi sosial tersebut, maka setiap individu selama proses interaksi sosial harus berdasarkan kepada nilai, norma sosial yang berlaku dalam kelompoknya atau masyarakatnya. Nilai adalah ‘sesuatu yang diangungkan, dianggap baik, dan dijadikan sebagai pedoman berperiku’. Menurut Notonegoro ada tiga macam nilai, yaitu (1) nilai material (segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia); dan (2) nilai vital (segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas hidup); dan (3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian terdiri atas empat macam, yaitu: (a) Nilai kebenaran (kenyataan), yaitu nilai yang bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, dan cipta); (b) Nilai keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada unsur perasaan manusia (estetika); (c) Nilai moral (kebaikan), yaitu nilai yang bersumber pada unsur, kehendak, atau kemauan (karsa dan etika); dan (d) Nilai religius, yaitu nilai ketuhanan yang tertinggi, mutlak, dan abadi.Sedangkan norma adalah ‘seperangkat aturan (tertulis dan
tidak tertulis), yang mengatur pola kehidupan dan interaksi seseorang dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidup’.

Fungsi nilai dan norma bagi kehidupan bermasyarakat adalah: (1) menetapkan harga sosial seseorang dalam kelompok. Dengan nilai dapat menunjukkan seseorang berada pada pelapisan sosial tertentu di masyarakat; (2) membentuk cara berpikir dan berperilaku secara ideal dalam masyarakat; (3) nilai-norma dapat menjadi faktor penentu yang terakhir bagi manusia dalam menjalankan peranan sosial; (4) nilai-norma sebagai alat pengawas dan pengontrol serta daya ikat tertentu agar seseorang berbuat baik bagi kehidupan; (5) nilai-norma sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama; dan (6) nilai-norma menjadi abstraksi (gambaran) pola perilaku masyarakat (Rose, A. M.1965).

B. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Ada dua syarat utama terjadinya interaksi sosial, yaitu: (1) adanya kontak sosial. Makna harfiah kontak sosial adalah ‘bersama-sama menyentuh’. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi sentuhan badaniah. Berdasarkan subjek pelakunya kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: (a) kontak antara orang perorangan; (b) kontak ntara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya; dan (c) kontak antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya; dan (2) adanya komunikasi (communication), berasal dari bahasa Inggris ‘common’, artinya sama. Apabila kita berkomunikasi, berarti kita berusaha untuk menimbulkan sesuatu persamaan (commonnes) dalam hal pemahaman, penafsiran dan sikap dengan seseorang tentang sesuatu. Misalnya, kita bersama-sama mempelajari suatu ide atau cita-cita dengan seseorang. Ini berarti, bahwa kita mengemukakan sesuatu sikap (attitude) yang sama kepada seseorang yang kita ajak berkomunikasi tadi (Pola. J.B.A.F.Major. 1991; Soekanto S., 2002).

C. Faktor-Faktor Yang Mendasari Proses Interaksi Sosial
Faktor penting yang menjadi dasar proses berlangsungnya interaksi sosial adalah: (1) nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Apabila individu atau kelompok dalam proses interaksi sosialnya tidak mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku, kehidupan sosial akan terjadi disintegrasi atau ketidakteraturan sosial; dan (2) status dan peranan sosial. Proses interaksi sosial yang dilakukan individu harus memperhatikan status dan peranan yang melekat pada dirinya, juga memperhatikan kewajiban dan hak-haknya.
Menurut para ahli, berlangsungnya proses interaksi sosial dipengaruhi oleh beberapa, antara lain: (1) faktor imitasi; (2) faktor sugesti; (3) faktor simpati; (4) faktor identifikasi; (5) faktor empati; dan (6) faktor motivasi. Keenam faktor tersebut selama proses interaksi sosial bisa terjadi secara sendiri (terpisah) dan juga bisa secara bersama-sama atau integratif.
Pertama, simpati, yaitu suatu proses psikhis di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan (aspek psikhis atau kejiwaaan) seseorang memegang peranan yang penting. Dorongan utamanya adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama atau mengikuti untuk melakukan suatu tindakan tertentu; Kedua, sugesti, yaitu dorongan untuk mengikuti atau menerima sikap orang lain tanpa proses pemikiran yang dalam untuk melakukan sesuatu tidakan. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi, karena pihak yang menerima sedang mengalami ketidakstabilan pikiran yang dapat menghambat daya berpikir rasional dan akal sehat. Sugesti ini bisa juga sebagai kelanjuan lebih mendalam dari simpati.
Ketiga, imitasi, yaitu dorongan untuk meniru pola aktifitas orang lain. Faktor ini mempunyai peran penting dalam proses interaksi sosial. Segi positifnya adalah imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai yang berlaku. Namun, imitasi dapat pula mengakibatkan hal yang negatif misalnya, meniru tindakan yang menyimpang. Selain itu imitasi juga dapat melemahkan atau mematikan pengembangan daya kreatifitas seseorang; Keempat, identifikasi, yaitu merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadikan sama (identik atau serupa) atau meniru untuk berperan atau bersikap sama dengan pihak lain. Identifikasi ini Iebih mendalam daripada imitasi, karena pola sikap seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
Kelima, empati,yaitu mirip perasaan simpati, akan tetapi tidak semata-mata perasaan kejiwaan saja, melainkan diikuti dengan tindakan nyata secara positif. Empati dibarengi perasaan organisme tubuh yang sangat dalam. Contohnya kalau kita melihat sahabat dekat atau kerabat dekat mengalami kecelakaan, maka perasaan empati menempatkan kita seolah-olah ikut celaka, dan kita langsung melakukan tindakan nyata untuk menolongnya; Keenam, motivasi, yaitu dorongan, rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan seorang individu lainnya sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi motivasi tersebut menuruti atau melaksanakan apa yang dimotivasikan secara kritis, rasional, dan penuh tanggung jawab (Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969; Soekanto, S, 2002).

D.Tahap –Tahap Keteraturan Sosial Dalam Interaksi Sosial
Antara interaksi sosial dan keteratuan sosial mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan yang erat tersebut dapat dipahami dari asumsi sebagai berikut: (1) dalam interaksi sosial selalu terdapat kontak dan komunikasi, tujuan kontak dan komunikasi adalah

untuk mewujudkan keteraturan sosial (ketertiban hidup); (2) keteraturan sosial (ketertiban hidup) akan terwujud apabila proses interaksi berdasarkan pada nilai dan norma sosial yang berlaku; (3) nilai, norma sosial adalah sebagai alat kontrol sosial (pengendalian sosial) terhadap perilaku individu-kelompok untuk terujudnya keteraturan sosial. Jadi, keteraturan sosial itu mempunyai hubungan yang selaras dan serasi antara interaksi sosial, nilai sosial dan norma sosial.
Ditinjau dari segi prosesnya, terbentuknya keteraturan sosial dapat melalui empat tahap, yaitu: (1) tahap tertib sosial (social order), yaitu kondisi kehidupan kelompok yang aman, dinamis teratur, yang ditandai dengan masing-masing anggota kelompok menjalankan kewajiban dan memperoleh haknya dengan baik sesuai dengan status dan peranannya; (2) tahap order, yaitu mengakui dan mematuhi sistem nilai, norma yang berkembang dalam kelompok; (3) tahap keajegan, yaitu suatu kondisi keteraturan perilaku yang tetap (ajeg), terus menerus atau konsisten dalam kehidupan sehari-hari; dan (4) tahap berpola, yaitu corak hubungan (interaksi) yang konsisten, ajeg tersebut dijadikan sebagai model (dilembagakan) bagi semua anggota untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari dalam kelompok. Ketika proses interaksi sosial sudah memasuki tahap berpola, maka proses-proses sosial di masyarakat akan tercipta keteraturan sosial (Rose, A. M. 1965; Wilson, E.K. 1966).

E. Proses Sosial Asosiattif dan Disosiatif
Sosiolog Gillin and Gillin menyebutkan ada dua proses sosial yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu: (1) proses asosiatif atau bersekutu (processes of association); dan (2) proses disosiatif atau memisahkan (processes of dissociation). Proses asosiatif sering mengarah ke pola integrasi sosial, sedangkan proses disosiatif cenderung mengarah ke disintegrasi atau sering disebut proses oposisi (berjuang melawan pihak lain untuk mencapai tujuan) (Rose, A. M. 1965; Green, A. W. 1972).
Pertama, proses asosiatif. Proses sosial asosiatif mempunyai empat bentuk, yaitu: (1) kerjasama (cooperation), yaitu jalinan hubungan timbal balik yang didasarkan atas kesamaan tujuan, kepentingan, dan orientasi hidup. Berdasarkan pelaksanaannya, interaksi sosial dalam bentuk kerjasama dibedakan menjadi lima macam, yaitu: (a) kerukunan atau gotong royong; (b) bargaining, yaitu perjanjian kerjasama tentang pertukaran barang dan jasa; (c) kooptasi, yaitu kerjasama untuk saling menerima unsur-unsur baru dalam pelaksanaan politik organisasi agar tidak terjadi konflik organisasi; (d) koalisi, yaitu kerjasama antara dua atau lebih organisasi yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama; (e) join-venture, yaitu kerjasama dalam pengadaan proyek tertentu yang berbasis ekonomi; (2) akomodasi (accomodation). Dalam proses sosial, akomodasi punya makna dua, yaitu: (a) sebagai keadaan, yang berarti akomodasi adalah suatu keseimbangan interaksi antar individu/ kelompok berdasarkan nilai dan norma kelompok; (b) sebagi proses, yang berarti akomodasi bermakna usaha manusia untuk meredakan dua pihak yang sedang konflik. Akomodasi sebagai proses, mempunyai beberapa bentuk, yaitu: (a) koersi, yaitu akomodasi yang prosesnya melalui pemaksaan; (b) kompromi, yaitu akomodasi yang ditandai oleh masing-masing pihak mengurangi tuntutannya agar ada penyelesaian; (c) arbitrasi, yaitu akomodasi yang menggunakan pihak ketiga, dan pihak ketiga ditentukan oleh badan yang berwenang; (d) mediasi, yaitu mirip dengan arbitrasi, hanya pihak ketiganya netral; (e) konsiliasi, yaitu akomodasi yang menggunakan cara mempertemukan keinginan yang bertikai untuk dibuat kesepakatan; (f) toleransi, akomodasi yang didasarkan atas sikap saling memaklumi; (g) stalemit, yaitu masing-masing pihak mempunyai kekuatan yang seimbang; (h) ajudifikasi, yaitu akomodasi melalui proses pengadilan, dsb. (3) akulturasi, yaitu proses pembauran dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan budaya baru, tetapi tidak menghilangkan unsur aslinya; (4) asimilasi, yaitu proses pembauran dua unsur budaya sehingga menghasilkan budaya baru, yang unsur budaya aslinya mulai hilang.
Kedua, proses disosiatif. Proses sosial disosiatif mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1) persaingan (competition), yaitu perjuang individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu, tanpa merugikan pihak lain. Ada dua tipe persaingan, yaitu persaingan individu dn persaingan kelompok; (2) kontravensi (contravention), yaitu suatu bentuk proses sosial antara persaingan dengan konflik. Cirinya adalah: (a) masing-masing mersa saling tidak puas; (b) masing-masing pihak saling memendam perasaan kecewa, ragu dan benci. Istilah sehari-hari tentang kontravensi adalah ‘perang dingin’; (3) konflik, yaitu suatu perjuangan individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan jalan menentang atau menyakiti atau
merugikan pihak lain. Macam-macam konflik antara lain konflik, agama, ras, suku, politik, ekonomi, antar kelas, konflik internasional dan sebagainya (Sunarto, K. 2000; Soekanto, S., 2002).
.



II. MASALAH-MASALAH SOSIAL

A. Pengertian Masalah (Problem) Sosial
Masalah sosial dalam perspektif sosiologis sering disebut sebagai problem sosial (social problems) (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984). Masalah sosial merupakan suatu gejala (fenomena) sosial yang mempunyai dimensi atau aspek kajian yang sangat luas atau kompleks, dan dapat ditinjau dari berbagai perspektif (sudut pandang atau teori). Oleh karena itu banyak dijumpai beragam pengertian atau definisi tentang masalah sosial (social problems) yang dikemukakan oleh para ahli. Dari beragam pengertian tentang masalah sosial, dapat disimpulkan bahwa suatu fenomena atau gejala kehidupan dikatakan sebagai masalah sosial (social problems) adalah apabila: (1) sesuatu yang dilakukan seseorang itu telah melanggar atau tidak sesuai dengan nilai-norma yang dijunjung tinggi oleh kelompok; (2) sesuatu yang dilakukan individu atau kelompok itu telah menyebabkan terjadinya disintegrasi kehidupan dalam kelompok; dan (3) sesuatu yang dilakukan inidividu atau kelompok itu telah memunculkan kegelisahan, ketidakbahagiaan individu lain dalam kelompok (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984).
Karena studi masalah sosial itu begitu kompleks, maka analisis tentang suatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) juga dapat diinjau dari beragam perspektif (beragam teori), misalnya sesuatu dikatakan problem menurut teori fungsional struktural akan berbeda dengan menurut teori konflik, atau teori interaksionis simbolik, atau teori integrasi (dalam kajian berikut akan disinggung masing-masing teori). Menurut Parrilo dalam Soetomo (1995), untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu diperhatikan empat hal, yaitu: (1) masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu tertentu; (2) dirasakan dapat menyebabkan beragam kerugian secara fisik dan non fisik pada individu dan kelompok; (3) merupakan pelanggaran terhadap nilai atau standar sosial atau sendi-sendi kehidupan masyarakat; dan (4) menuntut adanya usaha untuk dicarai pemecahannya.

B. Masalah Sosial Dalam Perspektif Teoritis
Dalam perspektif sosiologi, dijumpai berpuluh-puluh teori yang digunakan untuk memahami fenomena sosial. Berikut ini hanya dikemukakan empat teori dalam mencermati atau memahami tentang fenomena sosial, yaitu; (1) teori fungsional struktural; (2) teori konflik; dan (3) teori interaksionis simbolik. Karena keterbatasan ruang/tempat maka pandangan keempat teori tersebut dalam makalah ini hanya dijelaskan konsep-konsep dasarnya saja, dan diharapkan para pembaca bisa mendalami lebih lanjut pada pustaka yang menjadi rujukan kajian ini.
Pertama, teori fungsional struktural. Ada beragam versi teori fungsional struktural. Berikut ini dikemukakan pandangan teori fungsional struktural versi Parsons dalam memahami fenomena sosial, antara lain: (1) konsep kultur, dipandang sebagai sistem simbol yang terpola, teratur yang menjadi orientasi para individu untuk bertindak, berpribadi, bersosialisasi dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan menjadi faktor eksternal untuk menekan pola tindakan individu dalam kelompok; (2) konsep sistem. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan hidup dalam kelompok (integrasi sosial). Sistem bergerak dalam proses perubahan yang teratur (evolusi); (3) konsep integrasi. Persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi sosial di dalam sistem sosial adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Dalam proses sosialisasi, nilai dan norma diinternalisasikan (norma dan nilai menjadi bagian dari ‘kesadaran’ aktor), sehingga aktor mengabdi pada kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan. Individu atau aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi; dan (4) konsep perubahan,sosial. Teori ini memandang bahwa: (a) proses perubahan yang terjadi akan mengarah pada keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal, perlu dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (b) perubahan evolusi masyarakat adalah mengarah kepada ‘peningkatan kemampuan adaptasi’, menuju keseimbangan hidup; dan (c) apabila terjadi perubahan struktural, maka akan terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan (perubahan sistem nilai-nilai terpenting) (Sztompka, P. 1993; Ritzer dan Goodman, 2003). Masih banyak ciri pandangan teori fungsional struktural yang dikemukakan para teoritisi fungsional struktural.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori fungsional struktural tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu bertentangan dengan budaya sebagai sistem simbol yang dijadikan sebagai orientasi untuk berpola perilaku; (b) sesuatu itu menyebabkan terjadinya disintegrasi atau memudarkan jalinan antar unsur dalam suatu sistem; (c) perubahan sosial yang terjadi bersifat revolusioner akan menghasilkan ketidakseimbangan dalam sistem sosial.


Kedua, teori konflik. Ada banyak versi teori konflik, berikut ini hanya dikemukakan teori konflik versi Dahrendorf. Beberapa konsep dasar pandangan teori konflik Dahrendorf dalam memahami fenomena sosial, antara lain: (1) setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di lapisan atas; (2) teori konflik menekankan peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat; (3) bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus Bahwa masyarakat tidak ada tanpa konsensus dan konflik, keduanya menjadi persyaratan satu sama lain. Kita tak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya, sebaliknya konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi; (4) ‘bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas yang beragam. Otoritas tidak terletak di dalam individu, tetapi melekat pada posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis fenomena sosial; (5) otoritas individu ini tunduk pada kontrol yang ditentukan masyarakat. Karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang; (6) masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas; (7) hubungan konflik dengan perubahan adalah bahwa konflik merupakan realitas sosial, dan konflik berfungsi sebagai penyebab terjadinya perubahan dan perkembangan (konflik yang hebat akan membawa perubahan dalam struktur sosial) (Abraham, F.M. 1982; Ritzer dan Goodman, 2003)..Masih banak cirri teori konflik Karl Marx, dan teori neokonflik.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori konflik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak sesuai dengan kebijakan otoritas penguasa yang berfungsi untuk mempertahankan ketertiban masyarakat; (b) otoritas aktor (individu) tidak tunduk pada kontrol yang ditentukan oleh masyarakat; dan (c) perubahan sosial yang terjadi bersifat evolusi, sehingga kurang menciptakan dinamika kehidupan sosial.
Ketiga, teori interaksionis simbolik. Beberapa konsep dasar pandangan teori interaksionis simbolik H.Mead dalam memahami fenomena sosial atau tindakan individu, antara lain: (1) konsep realitas sosial. Realitas sosial yang sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika manusia bertindak ‘di dan terhadap’ dunia. Apa yang nyata bagi manusia tergantung pada definisi atau interpretasi atau pandangan individu itu sendiri; (2) konsep pandangan tentang ‘individu’. Bahwa Individu merespons suatu situasi simbolik. Individu merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (tindakan sosial) berdasarkan makna yang terkandung dalam objek tersebut. Ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat mekanis, tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan teori fungsional struktural dan teori konflik), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa, Pikiran’ individu dalam menginterpretasikan atau mendefinisikan situasi, dan diri, jiwa, pikiran sifatnya dinamik; dan (3) konsep pandangan tentang masyarakat. Bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi, tergantung pada pikiran individu. Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu terus berubah melalui interaksi simbolik (Abraham, F.M. 1982; Ritzer dan Goodman, 2003).
Jadi, individu adalah rasional dan produk dari hubungan sosial (interaksi sosial); Masyarakat adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu; Realitas sosial adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik; Interaksi sosial meliputi pikiran, bahasa dan kesadaran akan diri sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal. Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori interaksionis simbolik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak didasarkan pada pandangan, motivasi, tujuan yang ada pada Diri, Jiwa dan Pikiran individu dari proses menangkap simbol-simbol dalam interaksi; dan (b) sesuatu itu hasil dari tekanan struktural (kekuatan eksternal) yang bersifat statis.

C. Sumber Masalah Sosial Dalam Pendekatan Individu dan Pendekatan Kelompok
Berdasarkan uraian masalah sosial ditinjau dari perspektif teoritik di atas, para ahli mengelompokkan tentang sumber masalah sosial kedalam dua sudut pandang atau pendekatan, yaitu: (1) pendekatan individu (faktor internal); dan (2) pendekatan sosial atau kelompok (faktor eksternal).
Pertama, pendekatan individu. Pendekatan ini lebih berorientasi pada teori interaksionis simbolik. Dalam pendekatan ini memandang bahwa sumber masalah sosial

(problem sosial) adalah disebabkan oleh kondisi internal individu yang ‘eror’ atau ‘menyimpang’. Kondisi individu yang menyimpang ini dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) kondisi individu menyimpang karena faktor biologis (fisik) yang mendorong untuk menyimpang; dan faktor mentalitas (kejiwaan) negatif yang mendorong periaku menyimpang; dan (b) kondisi individu menyimpang karena faktor sosialisasi sub budaya menyimpang. Misalnya lingkungan keluarga yang disintegratif; Kedua, pendekatan kelompok. Pendekatan ini lebih berorientasi pada teori fungsional struktural dan teori konflik. Pendekatan ini memandang bahwa sumber masalah sosial disebabkan oleh faktor: (a) desain perencanaan pembangunan tidak disusun baik, atau pelaksanaan pembangunan telah menyimpang dari perencanaan yang ada; (b) adanya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang begitu besar; (c) terjadinya pemberontakan atau peperangan atau koflik politik dan militer (disintegrasi sosial-politik); (d) terjadinya bencana alam yang membawa kehancuran infrastruktur; dan (e) struktur kekuasaan negara yang bersifat absolut atau otoriterianisme atau berkembangnya sistem diskriminasi (Soetomo, 1995; Liliweri, A.. 2005).

D. Beragam Masalah Sosial Dalam Pembangunan

1. Masalah Kemiskinan
Dalam kajian sosiologi pembangunan, konsep kemiskinan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) kemiskinan absolut (a fixed yardstick). Konsep kemiskinan absolut ini dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkit. Ukuran ini lazimnya berorientasi pada kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pangan, papan dan sandang. Besarnya ukuran setiap negara berbeda; (2) kemiskinan relatif (the idea of relative). Konsep kemiskinan relatif ini dirumuskan berdasarkan atau memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Asumsi ini, bahwa kemiskinan di daerah satu dengan daerah lain tidak sama, demikian juga antara waktu dulu dengan sekarang berbeda; (3) kemiskinan subjektif. Konsep kemiskinan sbjektif ini dirumuskan berdasarkan perasaan individu atau kelompok miskin. Kita menilai individu atau kelompok tertentu miskin, tetapi kelompok yang kita nilai menganggap bahwa dirinya bukan miskin, atau sebaliknya. Konsep kemiskinan ketiga inilah yang lebih tepat apabila memahami konsep kemiskinan dan bagaimana langkah strategis dalam menangani kemiskinan (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto, W. 2004).
Secara sosiologis, kemiskian merupakan salah satu problem sosial yang paling serius dialami oleh negara-negara berkembang. Secara umum kajian tentang kemiskinan dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu: (1) perspektif kultural (cultural perspective); dan (2) perspektif struktural atau situasional (situational perspective). Kedua perspektif tersebut mempunyai asumsi, metode dan pendekatan yang berbeda dalam menganalisis tentang kemiskinan.
Pertama, perspektif kultural. Konsep kemiskinan dalam perspektif kultural dikelompokkan menjadi tiga tingkatan analisis, yaitu: (1) tingkatan individu, hal ini berarti kemiskinan karena mentalitas individu yang malas, apatis, fatalistik, pasrah, boros, dan tergantung (mentalitas negatif); (2) tingkatan keluarga, hal ini berarti kemiskinan karena jumlah anak dalam keluarga sangat besar, dengan pola budaya keluarga yang tidak produktif; dan (3) tingkatan masyarakat, hal ini berarti kemiskinan kerena tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif.
Kedua, perspektif struktural. Konsep kemiskinan dalam perspektif struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena dampak dari faktor-faktor struktur masyarakat (faktor eksternal), yaitu terjadinya kemiskinan karena: (1) program atau perencanaan pembangunan yang tidak tepat; (2) pelaksanaan kekuasan pemerintahan (birokrasi pemerintah) yang korup; (3) kehidupan sosial-politik yang tidak demokratis atau otoriter; (4) sistem ekonomi liberalistik atau kapitalistik; (5) berkembangnya teknologi modern atau industrialisasi yang mekanistik disemua aspek; (6) kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat sangat tinggi; (7) globalisasi ekonomi dan pasar bebas. Jadi, menurut perspektif struktural kemiskinan itu terjadi karena faktor ekternal, sedangkan menurut perspektif kultural kemiskinan itu terjadi karena mentalitas individu atau kelompok (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto, W. 2004).
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan antara lain: (1) menyusun perencanaan pembangunan yang tepat dan integral; (2) melaksanakan program pembangunan di segala bidang, yang berbasis kerakyatan; (3) meningkatkan kualitas layanan pendidikan secara maksimal sesuai dengan amanat UUD 1945; (4) reformasi birokrasi (transparansi, efisiensi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya pembangunan); (5) menegakkan kepastian hukum dan berkeadilan; dan (6) meningkatkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan media massa dalam proses pembangunan (Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto, W. 2004)




2. Masalah kenakalan remaja atau perilaku menyimpang remaja
Pengertian perilaku menyimpang (deviasi sosial) adalah semua bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Jadi, perilaku menyimpang remaja adalah semua bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat (ooooo). Diantara bentuk atau macam-macam perilaku menyimpang remaja antara lain: (a) tawuran antar pelajar; (b) penyimpangan seksual meliputi homoseksual, lesbianisme, dan hubungan seksual sebelum nikah; (c) alkoholisme; (d) penyalahgunaan obat terlarang atau narkotika; (e) kebut-kebutan di jalan raya; (f) pencurian atau penipuan, dan bentuk-bentuk tindakan kriminalitas lainnya
Kenakalan remaja pada umumnya diawali dari munculnya gejala-gejala, antara lain: (1) sikap apatis terhadap kewajiban-kewajiban normatif yang melekat pada dirinya; (2) adanya kecenderungan sikap untuk suka mengganggu teman lainnya; (3) sikap kecewa yang berlebihan karena tidak terpenuhinya keingian tertentu; (4) kurang fokus atau perhatian terhadap suatu agenda kegiatan tertentu; (5) sikap takut yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap merugikan dirinya; dan (6) ketidakmampuan untuk berperan dalam kelompok atau sikap ‘manja’ yang berlebihan (Sudarsono, 1995).
Bentuk penyimpangan perilaku remaja dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (a) penyimpangan primer, yaitu penyimpangan yang sifatnya temporer, sementara, dan masyarakat masih bisa mentolerir; (b) penyimpangan sekunder, yaitu penyimpangan yang dapat merugikan atau mengancam keselamatan orang lain, misalnya tindakan kriminal; (c) penyimpangan kelompok, yaitu penyimpangan yang dilakukan secara kelompok, misalnya geng untuk berkelahi, narkotik; dan (d) penyimpangan individu, yaitu perilaku menyimpang yang dilakukan secara sendiri.
Faktor-faktor penyebab terbentuknya perilaku menyimpang remaja, antara lain: (a) ketidaksanggupan menyerap norma budaya; (b) adanya ikatan sosial yang berlainan dengan yang dimiliki; (c) akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang; (d) akibat kegagalan dalam proses sosialisasi; (e) sikap mental yang tidak sehat; (f) keluarga yang broken home atau keluarga yang disintegrasi; (g) pelampiasan rasa kecewa yang berlebihan; (h) dorongan yang berlebihan untuk dipuji; (i) proses belajar yang menyimpang; (j) dorongan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang salah; dan (k) pengaruh lingkungan dan media masa yang negatif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Sudarsono, 1995).
Diantara langkah strategis untuk meminimalkan terjadinya kenakalan remaja antara lain: (1) menciptakan kehidupan rumah tangga yang beragama (menunjung tinggi nilai spiritual); (2) menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis (hubungan antara ayah, ibu dan anak terjalin dengan baik); (3) mewujudkan kesamaan nilai, norma yang dipegang antara ayah dan ibu dalam mendidik anak; (4) memberikan kasih sayang secara wajar atau proporsional (tidak memanjakan anak); (5) memberikan perhatian secara proporsional terhadap beragam kebutuhan anak; (6) memberikan pengawasan secara wajar atau proporsional terhadap pergaulan anak di lingkungan masyarakat atau teman bermainnya; dan (7) memberikan contoh tauladan yang terbaik pada anak, dan setiap pemberian layanan pada aak diarahkan pada upaya membentuk karakter atau mentalitas positif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Wilis,S. 1994).

3. Masalah Lingkungan Hidup
Problem atau masalah lingkungan hidup harus menjadi perhatian yang sangat serius, karena persoalan lingkungan adalah: (a) menyangkut jaminan kualitas kelangsungan kehidupan generasi dimasa-masa yang akan datang; dan (2) kegagalan dalam menangani persoalan lingkungan akan membawa dampak negatif disemu sektor kehidupan, baik dalam level lokal, nasional dan bahkan dunia, misalnya: terjadinya bencana banjir, pemanasan global; tanah longsor dan sebagainya.
Proses pembangunan dan industrialisasi di negara-negara maju dan berkembang ternyata membawa dampak munculnya masalah pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, pencemaran udara, pencemaran laut atau air. Meningkatnya pencemaran lingkungan tersebut secara langsung atau tidak langsung mendorong munculnya beragam problem kehidupan di berbagai aspek, misalnya: (1) tingkat kualitas kesehatan masyarakat semakin terancam; (2) kualitas kesuburan tanah dan ekosistem lingkungan fisik terancam; (3) kualitas air sebagai sumber kehidupan semakin tercemar; (4) terjadinya pencemaran udara, karena polusi industri, dan sebagainya.
Menurut Eitzen, dalam Soetomo (1995), ada beberapa faktor kekuatan sosial (perilaku manusia) yang menyebabkan terjadinya penceran dan ancaman kelestarian lingkungan, antara lain: (1) pertumbuhan penduduk yang pesat dan mengakibatkan meningkatnya permintaan akan makanan, energi dan beberapa kebutuhan lainnya; (2) konsentrasi penduduk di daerah perkotaan (urbanisasi) menyebabkan munculnya beragam limbah yang dapat merusak ekosistem; (3) proses pembangunan dan modernisasi yang meningkatkan pengunaan tekbologi modern yang bersifat konsumerisme dan mengabaikan keselamatan

lingkungan; dan (4) aktivitas dan mekanisme pasar, bekerja tanpa pertimbangan keselamatan atau kelestarian lingkungan hidup.
Ada beberapa langkah strategis dalam menangani masalah pencemaran lingkungan hidup, yaitu: (1) menerapkan sistem hukum secara tegas dan berkeadilan terhadap setiap pelaku penceramaran lingkungan; (2) melakukan gerakan perlawanan terhadap pencemaran lingkungan hidup pada semua lapiran masyarakat, misalnya gerakan reboisasi, menjalankan konservasi, dan melakukan daur ulang; (3) melakukan kontrol dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk; (4) melakukan inovasi teknologi, yaitu teknologi yang ramah lingkungan; (5) membudayakan gaya hidup masyarakat yang konsumeris dan mekanis (orientasi kekinian) berubah pada orientasi hidup pada kelangsungan generasi mendatang (orientasi masa depan); dan (6) mengembangkan pendidikan kelestarian lingkungan di setiap jenjang pendidikan (Soetomo, 1996, Usman, S. 1998)

4. Masalah Konflik SARA
Masalah konflik Suku, Agama, Ras dan Antar kelompok (SARA), bagi negara-negara berkembang yang multikultural (termasuk Indonesia) adalah problem yang sewaktu-waktu bisa muncul, dan dapat mengganggu kelancaran proses pembangunan. Oleh karena setiap desain pembangunan dan pelaksanaan pembangunan harus betul-betul meminimalkan terjadinya konflik SARA (Warnaen, S. 2002; Nugroho, F, (eds). 2004). Unsur-unsur konflik SARA adalah: (a) ada dua pihak atau lebih yang terlibat konflik; (b) ada tujuan yang menjadi sasaran konflik, dan tujuan tersebut sebagai sumber konflik; dan (c) ada perbedaan pikiran, perasaan dan tindakan untuk meraih tujuan yang saling memaksakan atau menghancurkan.
Ciri-ciri konflik SARA adalah: (a) bersifat alamiah; (b) anggota suku, agama, ras, antar kelompok yang terlibat konflik cenderung lebih terdorong untuk melakukan konflik berikutnya untuk kepentingan kelompoknya; (c) umumnya terjadi antara SARA mayoritas dengan minoritas; (d) sering diiringi dengan kekerasan yang berlangsung dalam ruang dan waktu tertentu; (e) mereka yang terlibat konflik merasa belum puas karena kebutuhan mereka belum terpenuhi; dan (f) konflik melibatkan dua kelompok kepentingan yang saling memperebutkan kebutuhan hidup (Suryadinata, L., dkk. 2003; ; Liliweri, A.. 2005).
Sumber-sumber konflik SARA, yaitu: (a) perbedaan orientasi nilai budaya dan masing-masing saling memaksakan kehendak; (b) tertutupnya pintu komunikasi antar masing-masing pihak sehingga tidak bisa saling memahami pola budaya; (c) kepemimpinan yang tidak efektif; pengambilan keputusan yang tidak adil; (d) ketidakcocokan peran-peran sosial, yang disertai dengan pemaksaan kehendak; (e) produktivitas masing-masing pihak rendah dalam kelompok, sehingga kebutuhan kelompok tidak terpenuhi; (f) terjadinya perubahan sosial budaya yang bersifat revolusioner, sehingga terjadi disintegrasi sosial-budaya; (g) karena latar belakang historis yang tidak baik; dan (h) kesenjangan sosial-ekonomi (Soetomo, 1995; Liliweri, A.. 2005).
Strategi penyelesaian konflik, antara lain: Pertama, melakukan manajemen konflik. Manajemen konflik adalah: “tindakan konstruktif yang direncanakan, diorganisasi, digerakkan dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demi mengakhiri konflik”. Ada delapan konsep dalam melakukan manajemen konflik, yaitu: (a) pengakuan diri bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada konflik; (b) analisis situasi yang menyebabkan konflik; (c) analisis pola perilaku pihak-pihak yang terlibat konflik; (d) menentukan pendekatan konflik yang dapat dijadikan model penyelesaian; (e) membuka semua jalur-jalur komunikasi, baik langsung atau tidak langsung; (f) melakukan negoisasi atau perundingan dengan pihak-pihak yang terlibat konflik; (g) rumuskan beberapa anjuran, alternatif, konfirmasi relasi sampai tekanan; dan (h) hiduplah dengan penuh motivasi kerja dengan konflik. Semua konflik tidak mungkin dihilangkan sama sekali, yang bisa hanya diminimalkan.
Kedua, melakukan analisis konflik, yaitu melakukan penelitian tentang pola budaya antar etnik atau kelompok yang sedang konflik. Tujuan penelitian ini adalah: (a) akan dapat melacak sejarah etnik, karena sejarah budaya etnik sangat menentukan karakter etnik masing-masing; (b) menjelaskan faktor penyebab konflik antar etnik; (c) melakukan interpretasi terhadap konflik etnik dengan melihat sebab-sebabnya; (d) mengelaborasi nasionalisme etnik dan peranannya dalam eskalasi konflik sosial; dan (e) menggambarkan situasi khusus yang terjadi dalam kondisi kekinian dan meprediksi kondisi keakanan; Ketiga, melakukan pendidikan komunikasi lintas budaya. Diantara strategi pendidikan komunikasi lintas budaya adalah memberlakukan pendidikan multikultural yang terintegrasi pada setiap mata pelajaran di setiap satuan pendidikan. Inti pendidikan multikultural adalah, demokratisasi, humanisasi dan pluralis (Sutrisno, L. 2003; Suryadinata, L., dkk. 2003).





5. Masalah Kriminalitas
Kriminalitas atau tindakan kriminal merupakan problem sosial yang bersifat laten (selalu ada dalam kehidupan masyarakat atau negara manapun), namun tindakan kriminal bukanlah penyimpangan perilaku yang dibawa sejak lahir, tetapi tindakan kriminal merupakan hasil dari sosialisasi sub budaya menyimpang. Tindakan kriminal sering dikategorikan sebagai tindak pidana atau tindakan yang melanggar hukum pidana. Diantara contoh tindakan kriminal adalah: korupsi, pencurian, pembunuhan, perampokan, penipuan atau pemalsuan, penculikan, perkosaan, sindikat narkotik atau penyalahgunaan obat terlarang.
Hal-hal yang mendorong terjadinya perilaku menyimpang dalam bentuk tindakan kriminal antara lain: (1) terjadinya perubahan sosial, politik, ekonomi yang bersifat revolusi, misalnya terjadi peperangan; (2) terjadinya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang begitu besar, sebagai akibat kesalahan strategi atau perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan; (3) adanya peluang atau kesempatan untuk terjadinya tindakan kriminal, karena alat-alat penegak hukum tidak tegas atau tidak ada kepastian hukum di masyarakat; (4) pemerintah yang lemah (tidak bersih) dan aparat pemerintah yang korup, atau banyak muncul penjahat kerah putih (white collar crime) di setiap departemen pemerintah atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga ekonomi; (5) meningkatnya jumlah penduduk yang tidak terkendali, sehingga jumlah pengangguran dan urbanisasi meningkat; (6) kondisi kehidupan keluarga yang disintegratif; dan (7) berkembangnya sikap mental negatif, misalnya: hedonistis, konsumersitis, suka menempuh jalan pintas dalam meraih tujuan dan sejenisnya (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Soetomo, 1995).
Pendekatan atau metode yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal adalah: (a) metode preventif, yaitu cara pencegahan melalui pemberian informasi (penyuluhan), pendidikan, pelaksanaan program pembangunan yang benar; (b) metode represif, yaitu cara pencegahan melalui pemberian hukuman, penangkapan dan pemenjaraan sampai pada penembakan. Metode terbaik dalam menangani tindak kriminal adalah metode preventif (Wilis,S. 1994).

6. Masalah aksi protes, pergolakan daerah, dan pelanggaran HAM
Aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, merupakan masalah sosial yang cukup kompleks, dan menuntut adanya perhatian khusus dalam pemecahannya. Telebih kondisi sosial budaya masyarakat yang multikultural, seperti di Indonesia. Hampir setiap hari terjadi aksi protes dan demonstrasi di daerah-daerah. Hal ini tentu dapat mengganggu proses perubahan atau pembangunan masyarakat.
Diantara sebab terjadinya aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, antara lain: (1) terjadinya dominasi mayoritas kepada minoritas disertai dengan tindakan sewenang-wenang dalam berbagai aspek kehidupan; atau adanya pemaksaan kehendak antar kelompok di masyarakat; (2) terjadinya kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat yang sangat tinggi; (3) terjadinya perebutan antar kelompok di masyarakat tentang sumber-sumber mata pencaharian hidup; (4) adanya pemaksaan ideologi kelompok satu kepada kelompok lainnya (berkembangnya sikap eksklusifisme/ primordialisme); dan (5) adanya tradisi masa lalu sebagai warisan sejarah tentang konflik antar kelompok atau antar ethnik.
Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia, untuk meminimalkan terjadinya aksi protes, demonstrasi, tindak kriminal, dan pelanggaran HAM, antara lain: (1) merumuskan pokok-pokok kebijakan pembangunan masyarakat, antara lain: (a) pembangunan harus memihak rakyat, dinamis-berkelanjutan, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasikan; (b) pembangunan harus memanfaatkan secara baik sumber daya masyarakat dan meningkatan partisipasi peran masyarakatnya; (2) memprioritaskan pembangunan SDM, yaitu membangun ketaatan pada prinsip-prinsip moral (hukum) dan agama; sikap kesetiakawanan sosial; kreativitas;
produktivitas; pengembangan rasionalitas; dan kemampuan menegakkan kemandirian untuk berkarya; (3) program yang disusun di sektor pembangunan masyarakat, betul-betul memperhatikan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, dengan memperhatikan skala prioritas dan kondisi lingkungan fisik serta sosio-budaya masyarakatnya; (4) proses pembangunan sosial, ekonomi dan politik masyarakat, harus lebih meningkatkan kearah otonomi daerah dan otonomi masyarakat yang lebih berkualitas; (5) proses pelaksanaan pembangunan masyarakat hendaknya dilakukan secara demokratis, transparansi dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan; dan (6) karena basis ekonomi masyarakat Indonesia adalah pertanian, maka program pembangunan harus berbasis pada pembangunan teknologi pertanian di pedesaan (Usman, S., 1998; Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto, 2004)




DAFTAR PUSTAKA

Abraham, F.M. 1982. Modern Sociological Theory, An Introduction, Oxford University Press. Delhi.
Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969. Introduction to Sociology, Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey.
Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984. Social Problems, Second edition. Harper & Row Publishers. New York.
Dwipayana, Ari (Ed). 2003. Membangun Good Governance di Desa, Institue for Research and Empowerment (IRE). Yogyakarta.
Green, A. W. 1972. Sociology. An Analysis of Life in Modern Society, Sixth Edition. Mc Graw-Hill Book Company New York.
Horton, P. and Hunt, C.L. 1984. Sociology, Sixth Edition. Mc. Graw-Hill Book Company. London.
Liliweri, A.. 2005. Prasangka dan Konflik. Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. PT. LkiS. Yogyakarta.
Mack, R. and Pease, J. 1973. Sociolgy and Social Life, Fifth Edition. D.Van Nostrand Company. New York.
Nugroho, F, (eds). 2004. Konflik dan Kekerasan Pada Aras Lokal, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Pola. J.B.A.F.Major. 1991. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. PT. Ichtiar Baru. Jakarta.
Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003. Modern Sociological Theory. Sixth edition. Alimandan (penerjemah). Teori Sosiologi Modern. 2004. Prenada Media. Jakarta.
Rose, A. M. 1965. Sociology, the Study of Human Relations, Second edition. Alfred Knopf. New York.
Soekanto, S., 2002. Pengantar Sosiologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soetomo, 1995. Masalah Sosial dan Pembangunan. Pustaka Jaya. Jakarta.
Sudarsono, 1995. Kenakalan Remaja. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Sunarto, K. 2000. Pengantar Sosiologi. LPFE- UI. Jakarta.
Suryadinata, L., dkk. 2003. Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik. (Terjemahan) LP3ES. Jakarta.
Sutrisno, L. 2003. Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia, Tajidu press. Yogyakarta.
Sztompka, P. 1993. The Sociology of Social Change, Alimandan (penerjemah). Sosiologi Perubahan Sosial. 2004. Prenada Media. Jakarta.
Tjokrowinoto, W. 2004. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Warnaen, S. 2002. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. Mata Bangsa. Jakarta.
Wilis,S. 1994. Problema Remaja dan Pemecahannya. Penerbit Angkasa. Bandung
Wilson, E.K. 1966. Sociology, Rules and Relationships, The Dorsey Press. Homewood, Illinois.


RIWAYAT HIDUP PENULIS: Arifin, lahir di Lamongan, tanggal 01 Januari 1960. Tamat Madrasah Ibtidaiyah 1973; Melanjutkan ke PGAP Paciran Lamongan lulus 1978. Pondok Pesantren Karangasem di Paciran Lamongan tahun 1973-1978; Melanjutkan ke PGAAN Malang lulus 1980; Lulus S1 IKIP Negeri Malang Prodi Sejarah-Antropologi 1984 (Yudisium Sangat Memuaskan); Lulus Pascasarjana (S2) Magister Sain Sosiologi Pedesaan dari UMM 2002 (Yudisium Cumlaude); Lulus Doktor (S3) Kekhususan Sosiologi Pedesaan dari Universitas Brawijaya Malang 2007-2008 (Yudisium Sangat Memuaskan). Profesi yang ditekuni sampai sekarang adalah sebagai pendidik (Guru Sosiologi SMA Islam Malang, sejak 1985- sekarang; Dosen Prodi Sejarah-Sosiologi IKIP Budi Utomo Malang sejak tahun 1987-sekarang; Dosen Luar Biasa di FISIP (Sosiologi) Universitas Brawijaya Malang sejak tahun 2004–2009; Dosen Pascasarjana (S2) Universitas Gresik sejak tahun 2008-sekarang. Pangkat fungsional Dosen Lektor Kepala, Pangkat PNS IV/b. (Pembina Tk.1) NIP: 19600101199403 1 009. Berbagai karya tulis berupa buku: (1) Sosiologi Untuk SMA; (2) Dasar-Dasar Logika dan Filsafat Ilmu; (3) Pengantar Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif; (4) Assessment dan Perencanaan Pendidikan; (5) Sistem Sosial Budaya Masyarakat Indonesia; dan (6) tiga belas Laporan Penelitian Mandiri; Sepuluh Artikel Ilmiah di Jurnal atau Majalah Pendidikan. Konsultan pendidikan dan research. Aktif sebagai penyaji makalah dalam seminar dan Diklat Regional maupun Nasional tentang pengembangan profesional guru. Aktif sebagai Pembina empat Kelompok Kajian Sosiologi Agama di Kota Malang. Semoga Tuhan memaafkan semua kesalahan penulis.

0 komentar:

Posting Komentar

lakukan yang terbaik

Artikel saya

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Tambah Sesuai Hati kamu