Rabu, 04 Januari 2012

Culture Shock dan CULTURAL LAG

Culture Shock adalah perubahan nilai budaya seiring dengan perkembangan jaman dan wawasan yang makin berkembang ini biasanya terjadi pada orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Sangat wajar, apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan dan tekanan mental.
Seperti yang dikatakan Nolan: “lingkungan baru membuat tuntutan-tuntutan dimana kita tidak tahu respon yang tepat, dan respon yang kita berikan tidak menunjukkan hasil yang dikehendaki.” Smith dan Bond juga menawarkan penjelasan yang lebih spesifik mengenai masalah yang timbul karena perpindahan tempat a/l: terpisah dari jaringan sebelumnya yang mendukung, perbedaan iklim, meningkatnya masalah kesehatan, perubahan sumber daya secara material dan teknis, kekurangan informasi tentang rutinitas sehari-hari, dan hal-hal lainnya.
Ada 5 tanda-tanda cultural shock yaitu :
1. Anda terus-terusan berpikir negatif dan mulai membanding-bandingkan keadaan ditempat baru dengan kampung halaman Anda, untuk Anda tempat baru Anda tidak lebih bagus dari kampung halaman Anda, Anda mulai membentuk pencitraan buruk terhadap budaya baru dan menghakimi banyak orang
2. Anda mulai frustasi, gampang marah dengan hal-hal kecil, Anda mulai frustasi karena tidak bisa mengikuti pola hidup disana Anda menjadi malas bergaul dan memilih diam saja karena merasa tidak PD
3. Anda mulai merasa sedih dan terasingkan walaupun saat itu Anda sedang berada di tengah-tengah orang banyak.
4. Anda mulai kehilangan identitas dan ciri-ciri pribadimu
5. Anda mulai merasa kurang sehat, Anda jadi sering flu, pilek, demam, diare dan lain sebagainya.
Bila Anda mengalami 5 tanda-tanda cultural shock jangan panik, tetap jadi diri Anda dan selalu terbuka dengan hal-hal baru yang Anda temui.

Perubahan Budaya
Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan oleh Munandar (1987) dibagi atas: cultural lag, cultural survival, cultural conflict dan cultural shock. Keempat jenis perubahan peristiwa-peristiwa kebudayaan tersebut diuraikan secara singkat sebagi berikut di bawah ini.
CULTURAL LAG
Cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Artinya ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap benda itu.
Juga suatu lag terjadi apabila irama perubahan dari dua unsur perubahan (mungkin lebih) memiliki korelasi yang tak sebanding sehingga unsur yang satu tertinggal oleh yang lainnya.
CULTURAL SURVIVAL
Istilah ini ada sangkut pautnya dengan cultural lag karena mengandung pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang. Cultural survival adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, pengertian lag dapat diperguanakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu:
  1. Suatu jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimannya penemuan tersebut.
  2. adanya perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran modern.
Terjadinya cultural lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru yang berlawanan dengan hukum-hukum serta cara-cara bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural lag.
CULTURAL CONFLICT (pertentangan kebudayaan)
Pertentangan kebudayaan ini muncul sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal ini terjadi akibat konflik langsung antar kebudayaan. Faktor-faktor yang menimbulkan konflik adalah keyakinan-keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas berbudaya. Konflik ini dapat terjadi di antara anggota-anggota kebudayaan yang satu dengan anggota-anggota kebudayaan yang lain.
CULTURE SHOCK (guncangan kebudayaan)
Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Kalervo Oberg (1958) untuk menyatakan apa yang disebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri, semacam penyakit mental yang tak disadari oleh korbannya. Hal ini akibat kecemasan karena orang itu kehilangan atau tak melihat lagi semua tanda dan lambang pergaulan sosial yang sudah dikenalnya dengan baik.
Ada empat tahap yang membentuk siklus culture shock:
  1. tahap inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai suatu pengalaman baru yang menarik.
  2. tahap kritis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat inilah terjadi korban culture shock.
  3. tahap kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup dengan damai.
  4. tahap penyesuaian diri; sekarang orang tersebut sudah membanggakan sesuatu yang dilihatnya dan dirasakannya dalam kondisi yang baru itu; rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.
Penyesuaian diri antar budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern menurut Brislin, ialah faktor watak (traits) dan kecakapan (skill). Watak adalah segala tabiat yang membentuk keseluruhan kepribadian seseorang, yang dalam bahasa sehari-hari biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan, “orang macam apa dia?” jawabannya: emosional, pemberani, bertanggungjawab, senang bergaul dll. Orang senang bergaul biasanya lebih mudah menyesuaikan diri.
Kecakapan atau skill menyangkut segala sesuatu yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki, seperti bahasa, adat-istiadat, tata krama, keadaan geografi, keadaan ekonomi, situasi politik dan sebagainya.
Selain kedua faktor itu, juga sikap (attitude) seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Menurut Allport, yang dimaksud dengan sikap disini adalah kesiagaan mental atau saraf yang terbina melalui pengalaman yang memberikan pengarahan atau pengaruh terhadap bagaimana seseorang menanggapi segala macam obyek atau situasi yang dihadapinya. Contoh, sikap terusterang, berprasangka baik atau buruk, curiga, optimis, pesimis, skeptis, ekstrim, moderat, toleran, tepasliro dan sebagainya. Orang yang bersikap terus terang dan terbuka atau berprasangka baik akan lebih berhasil dalam menyesuaikan diri.
Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antar budaya adalah:
  1. besar-kecilnya perbedaan antara kebudayaan tempat asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.
  2. pekerjaan yang dilakukannya, yaitu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu dapat ditolerir dengan latar belakang pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya.
  3. suasana lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah seseorang untuk menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan yang tertutup.

0 komentar:

Posting Komentar

lakukan yang terbaik

Artikel saya

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Tambah Sesuai Hati kamu