Culture Shock adalah perubahan nilai
budaya seiring dengan perkembangan jaman dan wawasan yang makin berkembang ini
biasanya terjadi pada orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau
dipindahkan ke lingkungan yang baru. Sangat wajar, apabila seseorang yang masuk
dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan dan tekanan mental.
Seperti yang dikatakan Nolan:
“lingkungan baru membuat tuntutan-tuntutan dimana kita tidak tahu respon yang
tepat, dan respon yang kita berikan tidak menunjukkan hasil yang dikehendaki.”
Smith dan Bond juga menawarkan penjelasan yang lebih spesifik mengenai masalah
yang timbul karena perpindahan tempat a/l: terpisah dari jaringan sebelumnya
yang mendukung, perbedaan iklim, meningkatnya masalah kesehatan, perubahan
sumber daya secara material dan teknis, kekurangan informasi tentang rutinitas
sehari-hari, dan hal-hal lainnya.
Ada 5 tanda-tanda cultural shock
yaitu :
1. Anda terus-terusan berpikir
negatif dan mulai membanding-bandingkan keadaan ditempat baru dengan kampung
halaman Anda, untuk Anda tempat baru Anda tidak lebih bagus dari kampung
halaman Anda, Anda mulai membentuk pencitraan buruk terhadap budaya baru dan
menghakimi banyak orang
2. Anda mulai frustasi, gampang
marah dengan hal-hal kecil, Anda mulai frustasi karena tidak bisa mengikuti
pola hidup disana Anda menjadi malas bergaul dan memilih diam saja karena
merasa tidak PD
3. Anda mulai merasa sedih dan
terasingkan walaupun saat itu Anda sedang berada di tengah-tengah orang banyak.
4. Anda mulai kehilangan
identitas dan ciri-ciri pribadimu
5. Anda mulai merasa kurang
sehat, Anda jadi sering flu, pilek, demam, diare dan lain sebagainya.
Bila Anda mengalami 5 tanda-tanda
cultural shock jangan panik, tetap jadi diri Anda dan selalu terbuka dengan
hal-hal baru yang Anda temui.
Perubahan Budaya
Peristiwa-peristiwa perubahan
kebudayaan oleh Munandar (1987) dibagi atas: cultural lag, cultural survival,
cultural conflict dan cultural shock. Keempat jenis perubahan
peristiwa-peristiwa kebudayaan tersebut diuraikan secara singkat sebagi berikut
di bawah ini.
CULTURAL LAG
Cultural lag adalah perbedaan antara
taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Artinya
ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan
pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat dapat
menyesuaikan diri terhadap benda itu.
Juga suatu lag terjadi apabila irama
perubahan dari dua unsur perubahan (mungkin lebih) memiliki korelasi yang tak
sebanding sehingga unsur yang satu tertinggal oleh yang lainnya.
CULTURAL SURVIVAL
Istilah ini ada sangkut pautnya
dengan cultural lag karena mengandung pengertian adanya suatu cara tradisional
yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang. Cultural survival
adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa konsep ini dipakai untuk
menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus
persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata hanya di atas landasan
adat-istiadat semata-mata. Jadi, pengertian lag dapat diperguanakan paling
sedikit dalam dua arti, yaitu:
- Suatu jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimannya penemuan tersebut.
- adanya perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran modern.
Terjadinya cultural lag ialah karena
adanya hasil ciptaan baru yang membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang
baru yang berlawanan dengan hukum-hukum serta cara-cara bertindak yang lama,
tetapi ada pula kelompok yang memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan
timbulnya perubahan dan menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural lag.
CULTURAL CONFLICT (pertentangan
kebudayaan)
Pertentangan kebudayaan ini muncul
sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal ini terjadi akibat konflik langsung
antar kebudayaan. Faktor-faktor yang menimbulkan konflik adalah
keyakinan-keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas
berbudaya. Konflik ini dapat terjadi di antara anggota-anggota kebudayaan yang
satu dengan anggota-anggota kebudayaan yang lain.
CULTURE SHOCK (guncangan kebudayaan)
Istilah ini pertama kali dikemukakan
oleh Kalervo Oberg (1958) untuk menyatakan apa yang disebutnya sebagai suatu
penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu
kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri, semacam penyakit mental
yang tak disadari oleh korbannya. Hal ini akibat kecemasan karena orang itu
kehilangan atau tak melihat lagi semua tanda dan lambang pergaulan sosial yang
sudah dikenalnya dengan baik.
Ada empat tahap yang membentuk
siklus culture shock:
- tahap inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai suatu pengalaman baru yang menarik.
- tahap kritis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat inilah terjadi korban culture shock.
- tahap kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup dengan damai.
- tahap penyesuaian diri; sekarang orang tersebut sudah membanggakan sesuatu yang dilihatnya dan dirasakannya dalam kondisi yang baru itu; rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.
Penyesuaian diri antar budaya
dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern menurut Brislin, ialah faktor watak (traits) dan kecakapan
(skill). Watak adalah segala tabiat yang membentuk keseluruhan kepribadian
seseorang, yang dalam bahasa sehari-hari biasanya merupakan jawaban atas
pertanyaan, “orang macam apa dia?” jawabannya: emosional, pemberani,
bertanggungjawab, senang bergaul dll. Orang senang bergaul biasanya lebih mudah
menyesuaikan diri.
Kecakapan atau skill menyangkut
segala sesuatu yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan
dimasuki, seperti bahasa, adat-istiadat, tata krama, keadaan geografi, keadaan
ekonomi, situasi politik dan sebagainya.
Selain kedua faktor itu, juga sikap
(attitude) seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Menurut
Allport, yang dimaksud dengan sikap disini adalah kesiagaan mental atau saraf
yang terbina melalui pengalaman yang memberikan pengarahan atau pengaruh
terhadap bagaimana seseorang menanggapi segala macam obyek atau situasi yang
dihadapinya. Contoh, sikap terusterang, berprasangka baik atau buruk, curiga,
optimis, pesimis, skeptis, ekstrim, moderat, toleran, tepasliro dan sebagainya.
Orang yang bersikap terus terang dan terbuka atau berprasangka baik akan lebih
berhasil dalam menyesuaikan diri.
Faktor ekstern yang berpengaruh
terhadap penyesuaian diri antar budaya adalah:
- besar-kecilnya perbedaan antara kebudayaan tempat asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.
- pekerjaan yang dilakukannya, yaitu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu dapat ditolerir dengan latar belakang pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya.
- suasana lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah seseorang untuk menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan yang tertutup.
0 komentar:
Posting Komentar
lakukan yang terbaik